Jumat, 18 Mei 2012

– Tugas RT memang membina warga agar selalu rukun, hidup berdampingan. Tapi RT Marjuki, 50 (bukan nama sebenarnya), saking begitu menghayati jabatan tersebut, istri orang pun “dirukuni” di pondok tengah kebun. Demi nafsu, keduanya jadi lupa anak dan cucu. Kecuali Jakarta, tugas keertean semuanya perjuangan. Kalau di Jakarta Pak RT dapat honor dari Pemda, di wilayah lain harus berani nombok demi keamanan dan ketertiban lingkungan. Maka tak mengherankan, jika ada rapat pembentukan RT baru, banyak warga yang tak hadir karena takut kena musibah jadi Pak RT. Tapi kalau RT yang “cerdas” macam Marjuki dari Kabupaten Bangka Selatan, posisi RT justru memberi berkah dan penuh gairah. Sebab gara-gara jadi RT, dia dapat gebedan baru, perempuan berusia 48 tahunan, namanya Ny. Asmiah (bukan nama sebenarnya). Meski dianya sudah bercucu, karena bodi dan penampilannya masih STNK, sayanglah Pak RT untuk melewatkan begitu saja. Sebagai pembina lingkungan, Marjuki memang tahu kondisi rumahtangga Asmiah. Berdasarkan testimoni yang pernah diterimanya, dia tak memperoleh “kepuasan” dari suaminya. Soal materil memang tercukupi, tapi masalah “onderdil”, inilah yang selama ini kedodoran. Padahal soal satu ini, meski kelihatannya sepele, bisa bikin berabe, sampai-sampai tiap malam hanya memble. Sebagai RT yang baik, Marjuki dengan penuh empati mencoba memberikan solusi lewat koalisi yang dilanjutkan dengan eksekusi. Di sinilah kemudian terjadi kontradiktif profesi. Sebagai RT dia sendiri sering menggebah para pelaku mesum di lingkungannya, tapi pada kesempatan lain Pak RT justru menjadi praktisinya. “Untuk Pak RT memang ada dispensasi,” kata setan memberi semangat. Begitulah yang terjadi. Atas nama pembinaan lingkungan, Marjuki sering keluar masuk kampung di desanya, Tebingpanjang, Kelurahan Tanjungketapang, Toboali, Kabupaten Bangka Selatan. Tapi begitu situasinya aman, dia masuklah ke tengah kebun untuk ketemu Ny. Asmiah yang siap menunggu di dalam pondok. Lalu, meski udara tidak gerah, keduanya melepas baju masing-masing dan selanjutnya terserah Anda.
Pulang dari meninjau “kebun” Asmiah, wajah Pak RT demikian ceria. Maklumlah, ibarat mobil kan baru saja “tune up”, sekaligus sporing balansing dan amplas platina. Kondisi ini lama-lama menjadikan warga curiga. Kenapa Pak RT gemar sekali masuk kebun Ny. Asmiah. Sekali waktu mereka mengintipnya. Wooo….., ternyata begitu to? Kalau begini “fasilitas” Pak RT, pasti banyak yang mau jadi ketua RT. Sebagai insan bermoral, warga pun jadi tak percaya lagi pada Pak RT. Kalau kasih sambutan sepertinya dia memang penganjur kebajikan, tapi giliran urusan wanita, malah jadi nampak kebajingannya. Karena itu warga sepakat untuk menggerebek pasangan mesum itu. “Kita tak mau punya RT tukang selingkuh,” kata warga bisik-bisik. Begitulah yang terjadi. Beberapa hari lalu saat nampak RT Marjuki mengendap-endap masuk kebun Asmiah dengan motornya, warga mulai stelling. Benar juga. Saat digerebek keduanya sedang “pemanasan”, karena baju masing-masing teronggok di pojok ruangan. Tahu aksinya ketahuan, Marjuki langsung kabur ke dalam kebun, meninggalkan motor dan bajunya. Sore harinya, “tarsan” desa itu menyerahkan diri ke Polsek Toboalsi, siap dengan segala resiko, tentunya. Dicopot dari RT gara-gara copot celana. (BP/Gunarso TS)
ANTARA Gunadi – Marsini semua berstatus lajang. Yang satu duda, yang satu janda. Jadi ketika mereka tertangkap basah sedang berbuat mesum, penyelesaiannya kan cukup dinikahkan saja. Sayangnya, pasangan itu memang tak ada niat ke sana.”Kami sekedar hobi, kok” kata mereka saat mau didaftarkan ke KUA. Ternyata banyak juga ya dua sejoli berkasih-kasihan tanpa ada niat untuk resmi menjadi suami istri. Mereka berhubungan intim sekedar untuk mengisi rasa-rasa sepi karena kehilangan pasangan resmi. Kata mereka yang berpikiran praktis, dengan sekedar pacaran kan hanya tahu sisi bagusnya saja, tanpa peduli sisi negative. Kalau jadi suami istri, kan dibebani sebuah tanggungjawab. Sedangkan jika hanya “kumpul kebo”, kan hanya tahu wanginya, tak pernah melihat kekumuhan si pasangan dalam keseharian. Ini pula agaknya yang jadi pertimbangan pasangan Gunadi, 40 (bukan nama sebenarnya), dengan Marsini, 37 (bukan nama sebenarnya). Mereka memang berangkat dari status yang aman, yakni antara duda lawan janda. Terus terang saja, Gunadi tak mencintai Marsini, begitu pula sebaliknya. Tapi ketika hujan lebat mengguyur Madiun semalaman, nah untuk mengusir dingin “apa salah”-nya lalu berpacu dalam birahi untuk mengusir ketegangan. Karena kesamaan prinsip itulah, Gunadi – Marsini tetap berkencan ria tanpa pernah menuntut satu sama lain. Mereka melupakan etika, mereka menafikan tata krama bermasyarakat, sekaligus mengesampingkan ajaran agama. Bagi mereka, asal saat sama-sama butuh semuanya siap, tinggal dikerjakan saja. Persetan dengan moral dan etika, yang penting bisa berkencan dan nihil (masuk semua – Red) ibaratnya absen anak SD. Asyik bagi Gunadi dan Marsini, tapi sangat menyesakkan dada warga kampung Pandean Kecamatan Mejayan Madiun (Jatim). Bagamana mereka tidak tersinggung. Sudah lama mereka berhubungan, tapi kok tak ada tanda-tandanya mau resmi menjadi suami istri. Ibarat nonton wayang, dari sore “perang” melulu dengan senjata Nenggala, tapi kok nggak pernah jejer Ngamarta atau Ngastina. Hubungan haram itu kemudian dilaporkan ke Pak RW setempat. Teguran secara lisan itupun disampaikan, tapi baik Gunadi yang oknum ONS Pemkab Madiun maupun tak bergeming. Alasannya, mereka sudah sama-sama dewasa, sehingga sudah tahu mana yang baik dan benar. Pengurus RT tak perlu intervensi urusan pribadi warganya. Alasan Gunadi – Marsini benar-benar bikin jengkel warga. Jika mereka terus bermesum ria di kampungnya, kan sama saja menganggap Pandean tempat bordil. Karenanya, untuk memberi pelajaran, pengurus RT dan RW sepakat untuk menggerebeknya. Dan itulah yang terjadi, dikala Gunadi masuk ke ruimah janda Marsini, pengegerebekan segera dilakukan. Keduanya kedapatan tidur seranjang. Yang membuat warga tak habis pikir, ketika dibawa ke kantor RW dan direncanakan untuk dinikahkan, keduanya menolak mentah-mentah. Alasannya, hubungannya selama ini tanpa target harus menjadi suami istri. Mereka berhubungan sekedar melepas ketegangan, mengusir rasa sepi. Bahkan anak janda Marsini juga mendukung langkah ibunya, dan menganggap RT terlalu sibuk ngurusi wilayah pribadi orang. “Mereka kan janda dan duda, sehingga tak ada yang dirugikan,” katanya. Untung mu! Warga yang rugi, karena kampungnya jadi tercemar. (C)Andy candra Winata

Minggu, 13 Mei 2012

Peranan Pejuang Nanga Pinoh Laskar Melah Putih Bangsa yang besar adalah, bangsa yang mau 

menghargai jasa para pahlawannya. Kalimat tersebut tercetus dari Presiden Soekarno, yang 

 mengamanatkan kepada seluruh bangsa Indonesia dalam mengisi kemerdekaan. Bangsa yang 
besar adalah, bangsa yang mau menghargai jasa para pahlawannya. Kalimat tersebut tercetus 
dari Presiden Soekarno, yang mengamanatkan kepada seluruh bangsa Indonesia dalam mengisi 
kemerdekaan. Kemerdekaan Indonesia direbut melalui perjuangan cukup panjang dengan penuh 
tetesan keringat dan darah, serta nyawa yang tidak ternilai harganya. Para pejuang pendahulu 
berjuang tanpa pamrih dengan semboyannya “Merdeka atau Mati”. Begitu pula di Kabupaten 
Melawi, yang pada zaman kolonial Belanda, para pejuang terdahulu merebut kemerdekaan 
dengan semangat berkorban. Melalui Laskar Merah Putih dibawah komandan Bagindo Jalaludin, 
merupakan organisasi kelompok pejuang yang terorganisir dengan baik pada masa itu. Sepak 
terjang Laskar Merah Putih dalam merebut kemerdekaan dibuktikan ketika menaklukkan 
penjajah Belanda di wilayah Nanga Pinoh dan sekitarnya. Aksi itu bermuara dengan dikuasai dan 
didudukinya benteng atau tangsi Belanda di Tanjung antara Sungai Pinoh dan Sungai Melawi. 
Daerah itu disebut dengan Tanjung Niaga. Dalam masa penyerangan menduduki benteng 
Belanada tersebut, telah menelan banyak korban jiwa pada 10 November 1946, pukul 24.00 dini 
hari. Serangan dipimpin langsung oleh Bagindo Jalaludin. Pada 11 November 1946, berkibarlah 
bendera merah putih dengan megahnya di halaman Benteng Belanda tersebut. Rakyat sangat 
bergembira pada waktu itu, melihat bendera Indonesia berkibar melambai-lambai di Bumi 
Persada. Kemudian, Bagindo Jalaludin selaku komandan Juang Laskar Merah Putih, 
memerintahkan 12 orang anggotanya untuk mudik ke Nanga Serawai, menangkap Controleuer 
L.J Herman pada 12 November 1946, dikepalai Prajurit Usman Cantik. Proses penangakapan 
berlangsung tanpa perlawanan, hingga akhirnya Controleuer L.J Herman berhasil ditangkap. 
Selaku tawanan perang, Controleuer L.J Herman dibawa ke Nanga Pinoh, dan langsung dibawa 
Bagindo Jalaludin ke Kota Baru di Sungai Pinoh. Kemudian dengan motor speed bersama Hasyim 
Kuasa, Polisi Pamong Praja dibawa ke Madong, lalu diserahkan kepada penjagaan Bilal Dodong 
B.H.M Sa’ad dan menjadi tanggungjawabnya. Bagindo Jalaludin kemudian kembali ke Nanga 
Pinoh. Akan tetapi, malang tidak dapat ditolak, mujur tidak dapat diraih, pada tanggal 15 
November 1946, siang hari, tentara KNIL datang dari Pontianak dengan tiga buah Motor Nirub. 
Kemudian terjadilah pertempuran sengit antara pasukan kesatuan Merah Putih yang 
bersenjatakan Karaben dan Golok, dengan tentara KNIL yang memiliki persenjataan canggih 
serta memadai. Dalam pertempuran tersebut, gugur beberapa pejuang. Diantaranya, Unut, 
Hasyim, Djakfar, Yusuf, Basri dan Sulaiman. Mereka dimakamkan di Taman Makam Nanga 
Pinoh. Kemudian oleh Kodim 1205 Sintang, kerangka tulang mereka dipindahkan ke Taman 
Makam Pahlawan di Kota Sintang. Yang kemudian dipindahkan lagi ke Makam Pahlawan 
Menyurai, Sintang. Raden M, Syamsudin bin Raden Panji Abdurahman, Raja Sintang ke 28, 
dipecat dari pangkatnya akibat membuat pernyataan bahwa, rakyat Kerajaan Sintang berdiri di 
belakang Kesatuan Laskar Merah Putih Republik Indonesia. Setelah itu, Laskar Merah Putih 
mundur dan masuk ke hutan di hulu Sungai Pinoh. Sedangkan Kapten Markasan ditembak 
tentara KNIL di pondok ladangnya. Sedangkan Bagindo Jalaludin beserta isteri dan anaknya, 
menyelamatkan diri ke dalam hutan, setelah sebelumnya mendapat ancaman untuk dibunuh. 
Bagindo Jalaludin beserta keluarga lari dari Nanga Pinoh dengan didampingi seorang penunjuk jalan, seorang lelaki Suku Dayak bernama Dayah atau Taher Bora. Melalui kampong-kampung seperti Nanga Kelawai, Sungai Mangat, Kayu Baong, Nanga Sasak, Mancur, Entapang, Sapau di Kalteng. Setelah terus menghindar dari kejaran tentara KNIL, akhirnya Bagindo Jalaludin beserta anak dan isterinya tertangkap oleh tentara KNIL dari Kalimantan Selatan. Anak dan isterinya dilepaskan dan akhirnya kembali ke Kota Baru. Bagindo Jalaludin langsung dibawa ke Banjarmasin, kemudian diteruskan ke Jakarta, dan dipenjara di rumah tahanan Cipinang. Dari Jakarta, selanjutnya dikirim ke Pontianak. Atas keputusan peradilan NICA Belanda, Bagindo Jalaludin Kahtim dihukum enam tahun penjara. Setelah perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) antara Indonesia dan Belanda, yang menghasilkan penyerahan kedaulatan bangsa dari Negeri Belanda ke Republik Indonesia. Pada 27 Desember 1949, Bagindo Jalaludin dibebaskan dari penjara Nanga Pinoh. Dia melakukan sujud syukur. Dari hasil perjuangannya terdahulu, Bagindo melantunkan senandung yang berbunyi, “Dua kali perang tebidah. Naga Payak kubu belansai. Kalau dikenang masa yang sudah, air mata jatuh berderai.” Pada tahun 1957, beliau jatuh sakit, akibat menderita sakit paru-paru dan dirawat di Rumah Sakit Umum di Sintang. Pada 1958, dalam usia 50 tahun, Bagindo Jalaludin wafat. Dia disemayamkan di kampung halamannya di Pariaman Padang, Sumatera Barat. Tepatnya di Alahan Tabek, Basuk Sikucur. Sepeninggalan Bagindo Jalaludin, anak-anak Nanga Pinoh, khusussnya pelajar pada masa itu, oleh gurunya di sekolah dalam mengenang jasa para pahlawannya menyanyikan lagu perjuangan yang berbunyi, Gerilya Nanga Pinoh Dua Tiga Lusin, Senjatanya ada Dua Belas Pucuk Karaben. Selain Itu Pisau dan Siken, Penghulunya itu Bagindo Jalaludin. “Bagindo Jalaludin, merupakan pejuang yang gigih dalam merebut kemerdekaan. Namun sayangnya, pemerintah daerah belum ada memberikan perhatian atas jasa yang dilakukannnya terdahulu. Perjuangan kemerdekaan yang dilakukan putra bangsa di Kabupaten Melawi, cukup menarik untuk disimak. Perjuangan dan perlawanan dilakukan dengan cara perang terbuka yang dilakukan Kapten Markasan dari Batalyon Mandau Telabang, maupun perjuangan secara politis. Perjuangan kemerdekaan yang dilakukan putra bangsa di Kabupaten Melawi, cukup menarik untuk disimak. Perjuangan dan perlawanan dilakukan dengan cara perang terbuka yang dilakukan Kapten Markasan dari Batalyon Mandau Telabang, maupun perjuangan secara politis. Dalam suasana kemerdekaan Republik Indonesia ke 64, Borneo Tribune mencoba menghadirkan sejarah perjuangan di Kabupaten Melawi, dalam mengusir penjajah pada masa kolonial Belanda. Dengan dibantu, Faisal, sebagai salah seorang tim penyusun sejarah perjuangan dari Ikatan Keluarga Sumatera Barat. Di Kabupaten Melawi, pada masa sejarah perjuangan telah dibentuk pergerakan yang dikenal dengan nama, Laskar Merah Putih dibawah komandan Bagindo Jalaludin Khatim. Secara sejarah, suku Minangkabau sudah lama datang dan menetap di Kabupaten Melawi. Kedatangan gelombang pertama warga Minangkabau ke Melawi, khususnya di Kecamatan Nanga Pinoh, pada awal abad ke dua puluh. Bertepatan dengan puncaknya masa penjajahan kolonial belanda di seluruh NKRI. Terkait dengan itu, ada beberapa orang Minangkabau yang menjadi tokoh agama, serta menjadi motor penggerak perlawanan rakyat, dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Salah satunya, Bagindo Jalaludin Khatim yang lahir di Kampung Alahan Tabek, Basung Sikucur, Kabupaten Pariaman Padang, Sumatera Barat, pada 1906. Pendidikan terakhir Bagindo jalaludin diselesaikan pada Madrasah Tarbiyah Islamiyah, Jaho Padang, Sumatera Barat, pada 1935. Bagindo Jalaludin pernah menjabat sebagai Kepala Madrasah Tarbiyah Islamiyah, Nanga Pinoh yang didirikan oleh Al-Ustadz Pakanuddin, yang setelah itu kembali ke Sumatera. Selama menjabat sebagai sebagai Kepala Madrasah tersebut, beliau dibantu oleh Al-Ustadz Ayub Shalih, Al-Ustadz B. Taparudin dan Sutan Maksum. Madrasah Tarbiyah Nanga Pinoh telah berhasil mencetak siswa yang handal, seperti, Penghulu Syahid, Sulaiman Nur, Guru Sama, Bantut A. Rahman, Abdul Gani, H. A Bukhari, H. Umar Mayah dan lain sebagainya. Malang tidak dapat ditolak, Madrasah tersebut tidak panjang umurnya, dikarenakan ada serbuan dari Balatentara Jepang ke Indonesia, dalam perang Dunia ke II, sepanjang tahun 1938-1945. Bagindo Jalaludin dikenal sebagai pucuk pimpinan organisasi pejuang Laskar Merah Putih, yang diangkat oleh laskar-laskar pejuang pada waktu itu. Pemilihan dilakukan secara aklamasi, melalui rapat yang dihadiri tokoh-tokoh pejuang. Seperti, A.M. Djohan, B. Jalaludin, B.M Aris, M. Nawawi, Usman Ando dan lainnya. Pada 15 Maret 1946, Haji Yusuf Haris seorang pemuda pembawa dan penyebar naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dan Undang-Undang Dasar 1945, tiba di Nanga Pinoh. Sesampainya di Nanga Pinoh, naskah tersebut langsung diserahkan kepada Al-Ustadz Bagindo Jalaludin Kahtim dan A.M Djohan. Kemudian, mereka berdua berdialog dengan Haji Yusuf Haris, tentang situasi politik di Sumatera, dikarenakan H. Yusuf Haris baru datang dari Sumatera dengan menumpang perahu layar milik Sy. Yusuf Mubarak dari Pulau Bangka menuju Ketapang. Berita proklamasi pada waktu itu simpang siur informasinya. Setelah mendapatkan penjelasan yang pasti dari H.Yusuf Haris, barulah Al-Ustadz Bagindo Jalaludin tidak ragu lagi. Setelah itu, Bagindo Jalaludin bersama A.M Djohan selalu berdiskusi secara rahasia, bagaimana caranya menyambut proklamasi kemerdekaan, agar tidak diketahui oleh tentara Netherland Indies Civil Administration (NICA). Dari hasil diskusi tersebut, tercetuslah rencana membentuk Badan Organisasi Pejuang Laskar Merah Putih, sebagai media menyatukan visi dan misi dari para pejuang pada waktu itu. Badan Organisasi Pejuang Merah Putih ini, semula hanya kegiatan politik yang menentang kaum penjajah kolonial Belanda di Nanga Pinoh dan sekitarnya. Akhirnya, menjadi satu badan yang mengkoordinir kekuatan, untuk melakukan perlawanan dengan bersenjata dalam menentang kaum penjajah. Badan pengurus yang semula terdiri dari beberapa orang, kemudian berkembang jadi lebih kuat dan disesuaikan dengan keadaan. Susunan kepengurusan yang terpilih pada bulan April 1946, menempatkan Bagindo Jalaludin sebagai ketua. Sedangkan bidang penerangan atau propaganda dipegang oleh M. Nawawi Hasan. Selain itu, dalam kepengurusan tersebut juga terdapat beberapa bidang lain, dalam menjalankan misi perjuangan. Seperti Bidang Pasukan Pengempur dibawah kepengurusan Muhammad Saad Aim. Bidang Perhubungan dipegang oleh Abang Patol. Bidang Administrasi Abang Tahir dan A.Yusman Badwi, serta bidang Perlengkapan Usman Ando. Tidak lama kemudian, terjadi perubahan kepengurusan. Sususan kepengurusannya pada Oktober 1946. Dimana, dalam perubahan tersebut, Bagindo Jalaludin masih dipercaya menjadi Ketua, didampingi M. Nawawi Hasan sebagai wakilnya. Sedangkan Sekretaris Satu dan Dua, dijabat oleh A.Yusman Badwi dan Usman Ando. Bidang Pasukan Pengempur masih dijabat M. Saad Aim. Organisasi Pejuang Laskar Merah Putih, pada masa itu menjalin hubungan kerjasama serta koordinasi yang baik dalam memperjuangkan kemerdekaan Negara Republik Indonesia, dengan organisasi-organisasi Pejuang Merah Putih lainnya di Sintang, Pontianak, serta Kalimantan Tengah. Kelompok Pejuang Laskar Merah Putih merupakan satu-satunya kelompok laskar perlawanan rakyat yang sangat gigih dan heroik. Penuh dengan nilai-nilai kepahlawanan. Dimana, darah dan nyawa sebagai taruhannya dalam mengusir para penjajah. Tidak hanya itu, Laskar Merah Putih merupakan kelompok Pejuang yang terorganisir dengan baik, pada masa itu.

Jumat, 04 Mei 2012

ANDY

nama saya andy candra winata , bisa di panggil andy saya lahir di Sambas ( pontianak - Kal-bar ) lahir tanggal 02-03-1996 zodiak PISCES Kelas 3 Smp , bntar lagi sih LULUS tpi gak tau LULUS apa nggk kalo LULUS mau masuk d SMAN 1 Sp kalo pengen Lebih jelas lagi add Fb ku ya Friend's www.facebook.com/zaryaguna Follow @percumabasabasi Mention ya Ntar di Follback